Monday 29 May 2017

Ketika Kritis Tak Lagi Penting Dalam Mahasiswa

       Pengalaman hari ini, entah harus sedih atau sedih banget. Saya disini sebagai mahasiswa tingkat akhir. Akan bercerita mengenai serba-serbi mahasiswa. Perlu digaris bawahi sebelum saya bercerita mengenai serba-serbi mahasiswa. Ini serba-serbi dilingkungan yang saya jalani. Entah harus sedih atau sedih banget. Ini benar-benar membuat dilemma.
        Didunia kampus bagi yang sudah mengenyam pendidikan kampus mungkin sudah biasa dengan cerita ini. Bagi yang belum masuk dunia kampus, saya cuma berpesan "Begitulah Dunia Mahasiswa". Dilingkungan perkampusan kalian akan menemui banyak sekali macam-macam jenis mahasiswa. Ada mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), ada mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat). Kali ini saya tidak akan membahas itu, karna itu terlalu general. Saya akan bercerita kurang lebihnya spesifik dilingkungan saya. Menurut saya ini sangat menyedihkan. Bagaimana tidak?
Saya sebagai mahasiswa yang disiapkan sebagai pendidik untuk para generasi bangsa sangat meresa kecewa sekali. Saya sering berfikir seribu kali keheranan ketika saya berjumpa dengan sesama mahasiswa pendidik yang berfikir pasif. 
Ini kejadian tidak berapa lama dari saya menulis tulisan ini. Karna hati saya merasa sakit ketika mahasiswa sesama pendidik yang katanya harus dicetak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana bisa seseorang yang disiapkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai pemikiran pasif?
      Tidak heran sekarang banyak orang kemakan hoax. Saya sebagai calon pendidikpun sedih. Bagimana kualitas pendidikan dimasa yang akan datang jika calon pendidikpun tidak sudi untuk berfikir kritis dan aktif. Saya sedih ketika tidak sengaja saya mendapati teman sesama mahasiswa yang sedang berselancar didunia maya, diInstagram tepatnya. Disana ada gambar yang bertuliskan Ex-Gubernur DKI Jakarta yang katanya akan dapat gelar sebagai pahlawan. Kalau itu kebenaran bagi saya tidak masalah. Tetapi yang saya sedihkan bukan itu. Dia mengomelkan kenapa X-Gubernur yang seperti itu dapat gelar? sambil misuh-misuh (mencerca:Red). 
          Mendengar cercaan dia, membuat saya ingin berkomentar. Saya penasaran sekali kenapa dia mengomel tidak jelas. Saya paham benar jika dia tidak menyukai X-Gubernur tersebut. Tetapi bisakah logika tetap dijalankan? Benar, rasa ingin berkomentar saya sudah diubun-ubun. Saya langsung menanyakan, jika pak X-Gubernur dapat penghargaan kenapa? Lagian apa postingan tersebut bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya? sudah kroscek disemua media? Jangan cuma nyinyir gitu?. Disitu saya merasa sangat sedih mendengar jawabannya. Jawaban Seorang mahasiswa yang ikut dalam pergerakan eksternal, pergerakan yang mumpuni yang sudah pasti ada diseluruh kampus. Pergerakan yang alumninya sudah berdiri dilembaga-lembaga pemerintah, menjabat sebagai dewan dan menteri dalam pemerintahan, pergerakan yang sudah pasti seluruh mahasiswa dan para pejabat mengenal pergerakan itu. Ini sangat menyedihkan ketika saya tanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban yang tidak sesuai dengan jabatan yang sedang disandang sebagai ketua sekaliber dalam pergerakan tersebut. Jawaban yang sangat miris sebagai calon pendidik. Dia menjawab "Untuk apa saya kroscek, saya bukan orang kritis yang harus kroscek sana sini". Bukan masalah orang kritis atau bukan, ini masalah kebenaran. Jika dia tidak kroscek kebenaran, dan dia klik dan share ke media social lainnya dan banyak orang yang mempunyai pemikiran seperti dia. Apa itu juga tidak membahayakan?. Dengan jawabannya saya tidak heran jika banyak hoax dan orang-orang sangat mudahnya kemakan  hoax. Yang saya tidak habis fikir, bagaimana ceritanya bisa menyandang sebagai ketua pergerakan? aah...itu hanya Tuhan dan pergerakan itu yang tahu. 
          Kalau dia bukan orang kritis, tidak seharusnya dia juga mengkritisi foto X-Gubernur tersebut. Mencerca itu bagian dari mengkritisi tetapi dengan model nyinyir. Ya, dari sini saya bisa mengambil banyak kesimpulan dengan adanya mahasiswa kemakan hoax yang akhirnya mahasiswa demo. 
          Budaya kritis, budaya baca inilah yang harus diterapkan dan dibangun. Jangan-jangan mahasiswa-mahasiswa yang ikut demo itu seringnya juga kemakan hoax. Dengan melihat gambar yang dibuat dengan Photoshop langsung percaya, dan melihat judul berita yang tanpa baca keseluruhan dari berita tersebut langsung di aminkan, aah... untuk baca saja sudah tidak sudi apalagi kroscek kebenaran dari portal media apa yang dibaca. FYI sih.. mahasiswa ketika bareng-bareng, berkelompok mereka berani teriak-teriak seperti pahlawan, tetapi perlu diingat ketika mereka menjadi individual mereka seperti hello kitty, yang tetap kalah ketika dosen menanyakan NPM.