Saturday, 11 June 2016

DIALOG TENTANG SHALAT TARAWEH, 23 ATAU 11 RAKA’AT?

DIALOG TENTANG SHALAT TARAWEH, 23 ATAU 11 RAKA’AT?

SOAL: Ada anggapan dari segelintir orang bahwa mayoritas umat Islam shalat tarawehnya tidak sesuai dengan Sunnah, karena melakukannya dalam 20 raka’at, bukan 8 raka’at. Bagaimana tanggapan Anda?

JAWAB: Justru anggapan segelintir orang tersebut yang keliru. Sejak masa Khulafaur Rasyidin shalat taraweh dilaksanakan dalam 20 raka’at, ditambah 3 raka’at shalat witirnya.

SOAL: Mereka beranggapan bahwa dasar shalat taraweh itu 8 raka’at, ditambah 3 raka’at shalat witir adalah hadits riwayat al-Bukhari berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلىَ اِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

“’Aisyah radhiyallahu anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melebihi 11 raka’at (shalat malam), baik dalam bulan Ramadhan maupun selainnya.” (HR. al-Bukhari).

Bagaimana tanggapan Anda?

JAWAB: Hadits ‘Aisyah dalam riwayat al-Bukhari di atas memang bukan dalil shalat taraweh. Coba perhatikan, Imam al-Bukhari menulis bab sebelum hadits di atas begini:

بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ

Bab shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan dan lainnya.

Dari penyajian al-Bukhari di atas, para ulama memberikan  beberapa kesimpulan berikut ini:

Pertama, hadits Aisyah di atas tidak memberikan pengertian bahwa shalat melebihi 11 raka’at hukumnya tidak afdhal (tidak utama), apalagi terlarang atau bid’ah.

Kedua, hadits tersebut hanya menginformasikan bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari 11 raka’at, baik ketika bulan Ramadhan maupun di luarnya.

Ketiga, informasi bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari 11 hanya berdasarkan sepengetahuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

SOAL: Apakah ada bukti riwayat lain bahwa shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dari 11 raka’at?

JAWAB: Ya ada beberapa bukti.

Dalam satu riwayat, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru 13 raka’at.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ

“Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan shalat malam 13 raka’at.” (HR. Muslim, Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath [5/157] dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya [2/191]).

Shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak 13 raka’at justru diriwayatkan dari beberapa shahabat antara lain, Zaid bin Khalid al-Juhani, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, dan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhum.

Dalam riwayat lain, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 16 raka’at.

عن علي - رضي الله تعالى عنه - (قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصلي من الليل ست عشرة ركعة سوى المكتوبة).

Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunaikan shalat pada malam hari sebanyak 16 raka’at, selain shalat maktubah (fardhu)”. HR al-Imam Ahmad dengan sanad yang para perawinya tsiqat (dipercaya).

Dalam riwayat lain, shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 17 raka’at.

روى أبو الحسن بن الضحاك عن طاوس مرسلا (قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصلي من الليل سبع عشرة ركعة).

Abu al-Hasan bin al-Dhahhak meriwayatkan dari Thawus secara mursal, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunaikan shalat pada malam hari 17 raka’at”. (Al-Shalihi al-Syami, Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-‘Ibad, juz 8 hlm 294).

Dari beberapa versi riwayat yang sampai kepada kita, ternyata shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada 9 riwayat yang berbeda, mulai dari 4, 7, 8, 9, 6, 11, 13, 16 dan 17 raka’at. Semuanya diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits.

SOAL: Berarti kelompok yang memastikan shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya 11 raka’at tidak mengetahui tentang beberapa versi riwayat yang ada dalam kitab-kitab hadits?

JAWAB: Mungkin begitu. Dan atau mungkin juga tahu, tetapi memahaminya dengan kacamata olah raga. Misalnya dia berpikir bahwa riwayat 11 raka’at ada dalam Shahih al-Bukhari, dengan begitu berarti 11 raka’at lebih kuat dari riwayat yang lain. Padahal dalam memahami hadits, sistimatika yang diambil oleh para ulama bukan adu kekuatan riwayat.

SOAL: Kalau memang versi shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam paling banyak 17 raka’at, lalu bagaimana kalau kita shalat lebih dari 17 raka’at?

JAWAB: Shalat malam termasuk shalat sunnah mutlak yang tidak dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَم صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat malam dikerjakan 2 raka’at, 2 raka’at. Apabila salah seorang kamu khawatir shubuh, shalatlah 1 raka’at, sebagai witir bagi shalat yang telah dikerjakan.” (HR. al-Bukhari [990]).

Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa shalat malam tidak memiliki batas tertentu, misalnya harus 8 atau 10 raka’at. Akan tetapi shalat malam boleh dikerjakan berapa saja, dengan dilaksanakan 2 raka’at, 2 raka’at. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُوْتِرُوْا بِثَلاَثٍ تَشَبَّهُوْا بِالْمَغْرِبِ وَلَكِنْ اَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ أَوْ بِسَبْعٍ أَوْ بِتِسْعٍ أَوْ بِاِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً أَوْ اَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ ، وَالْبَيْهَقِىُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mengerjakan shalat witir 3 raka’at, menyerupai shalat maghrib. Akan tetapi berwitirlah 5, 7, 9. 11 raka’at, atau lebih banyak dari itu.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1/446], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [3/31], Ibnu Hibban dalam Shahih-nya [6/185], Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath [5/184]). Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish al-Habir.

Dalam hadits di atas, terdapat perintah menunaikan shalat witir dengan 7 raka’at, 9 raka’at, 11 raka’at, atau lebih banyak lagi. Hal ini membuktikan bahwa shalat malam, termasuk shalat taraweh lebih dari 11 raka’at, yaitu 23 raka’at, tidak termasuk bid’ah, bahkan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih.

SOAL: Mengapa shalat taraweh yang dilakukan oleh umat Islam sebanyak 23 raka’at?

JAWAB: Mayoritas umat Islam melakukan shalat taraweh sebanyak 23 raka’at, karena jumlah itu yang dilakukan pada masa sahabat, yaitu masa Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Al-Imam al-Tirmidzi berkata dalam kitabnya al-Sunan:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ: أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً مَعَ الوِتْرِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالمَدِينَةِ.
وَأَكْثَرُ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ الْمُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيِّ.
وقَالَ الشَّافِعِيُّ: وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً.
وقَالَ أَحْمَدُ: رُوِيَ فِي هَذَا أَلْوَانٌ وَلَمْ يُقْضَ فِيهِ بِشَيْءٍ.
وقَالَ إِسْحَاقُ: بَلْ نَخْتَارُ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ.

Ahli ilmu (para ulama) berbeda pendapat tentang shalat malam pada bulan Ramadhan. Sebagian berpendapat, untuk menunaikan shalat 41 raka’at bersama witir, yaitu pendapat penduduk Madinah. Pengamalam berlaku seperti ini di kalangan mereka di Madinah.

Mayoritas ahli ilmu mengikut apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan lain-lain dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu 20 raka’at. Ini adalah pendapat al-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan al-Syafi’i.

Al-Syafi’i berkata: Demikianlah aku menjumpai di negeri kami di Makkah, mereka menunaikan shalat 20 raka’at.

Ahmad berkata: Dalam hal ini telah diriwayatkan beberapa versi, dan tidak pernah dipastikan dengan batasan tertentu.

Ishaq berkata: Kami memilih 41 raka’at sesuai apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. (Sunan al-Tirmidzi, juz 2 hlm 162).

SOAL: Apakah riwayat taraweh 23 raka’at dari para sahabat itu riwayat yang shahih?

JAWAB: Pelaksanaan shalat taraweh secara terorganisir dengan satu imam dan di awal malam, belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. pelaksanaan shalat taraweh tersebut baru dilakukan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Pada awal mula shalat taraweh digagas oleh Khalifah Umar, dilakukan dengan 8 raka’at, plus witir 3 raka’at, dengan imam Ubai bin Ka’ab dan Tamim al-Dari. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’.

Kemudian pada masa-masa selanjutnya, shalat taraweh dilakukan dengan 20 raka’at, dan 3 witir, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’ juga dari jalur Yazid bin Khushaifah. Hal ini dilakukan untuk meringankan kepada jama’ah yang menunaikan shalat taraweh pada waktu itu. Karena ketika shalat taraweh dilakukan dalam 8 raka’at, para imam membacakan 50 atau 60 ayat dalam setiap raka’at, sehingga shalat taraweh selesai menjelang terbitnya fajar. Kemudian karena hal ini dianggap memberatkan bagi jama’ah, lalu sistemnya dirubah menjadi 23 raka’at, di mana dalam setiap raka’at, sang imam hanya membaca 20 atau 30 ayat. Sehingga sedikitnya ayat yang dibaca dalam shalat, dapat tertutupi dengan jumlah raka’at yang lebih banyak.

Pelaksanaan shalat taraweh 23 raka’at padamasa Khalifah Umar tersebut telah dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Khulashah dan al-Majmu’, al-Zaila’i dalam Nashb al-Rayah, al-Subki dalam Syarh al-Minhaj, al-Hafizh Ibnu al-‘Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib, al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari, al-Suyuthi dalam al-Mashabih, Ali al-Qari dalam Syarh al-Muwaththa’, al-Nimawi dalam Atsar al-Sunan dan lain-lain. Syaikh Ismail al-Anshari, salah seorang ulama Wahabi kontemporer telah menshahihkan riwayat tersebut dalam dalam kitabnya, Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’ifih. Kitab ini sangat bagus untuk dibaca.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, shalat taraweh tetap dilakukan dalam 23 raka’at, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (juz 2 hal. 496). Shalat taraweh dengan jumlah 23 raka’at berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Kecuali penduduk Madinah yang melakukannya 39 raka’at dan 41 raka’at sejak masa Salaf sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits.

SOAL: Bagaimana dengan shalat taraweh menurut Madzhab Empat?

JAWAB: Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali, jumlah maksimal shalat taraweh adalah 20 raka’at ditambah 3 raka’at shalat witir. Hal ini berdasarkan shalat taraweh yang diriwayatkan dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Sedangkan menurut madzhab Maliki, jumlah raka’at shalat taraweh menurut riwayat yang populer dari Imam Malik adalah 46 raka’at, selain raka’at witir, sebagaimana diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Oleh karena itu pandangan yang membid’ahkan shalat taraweh lebih dari 11 raka’at adalah pandangan yang bid’ah dan tidak sesuai dengan ijma’ ulama salaf yang shaleh. Wallahu a’lam

GURU DAN AMALIAH KH. AHMAD DAHLAN (MUHAMMADIYYAH) DAN KH. HASYIM AS’ARI (NU) ADALAH SAMA TIADA PERBEDAAN

KITAB FIQIH MUHAMMADIYYAH KARYA KH. AHMAD DAHLAN (Al-Marhum Al-Maghfur Lahu)

=============

GURU DAN AMALIAH KH. AHMAD DAHLAN (MUHAMMADIYYAH) DAN KH. HASYIM AS’ARI (NU) ADALAH SAMA TIADA PERBEDAAN
=============
Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu berjudul“Sejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan”, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyyah.

Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:

1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim”(halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Dipesantren ini, Mohammad Darwisditemukan dengan Hasyim Asy’ari.Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.

Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah.Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul 'Ulama'). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.”

Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyahbukan Dahlaniyyah”.

Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama' sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat?

Semoga penjelasan ini mencerahkan kita semua dan bermanfa'at, Amiin
Kitab Fiqih KH.Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah:
http://wwwahamid.blogspot.co.id/2013/09/kitab-fiqih-muhammadiyyah-karya-kh.html?m=1

Wednesday, 1 June 2016

Pendidikan Gratis Bukan Untuk Membuat Malas, Tetapi Untuk Lebih Kompeten Baik Pemerintah Maupun Masyarakat

Pendidikan merupakan  faktor penentu kemajuan bangsa. Akan tetapi, pendidikan di Indonesia masih belum merata dan membutuhkan peningkatan kualitas dalam sarana maupun prasarana. Salah satu masalah yang paling mendasar di Indonesia yang menjadikan pendidikan sebagai pilar utama penyelesaian masalah-masalah kebangsaan ialah lemahnya sarana dan prasarana pendidikan kita dalam menempatkan sarana dan prasarana itu sendiri yang sudah sesuai dengan apa yang sudah ditargetkan. Ambil contoh masalah akses terhadap pendidikan. 

Menurut data statistik Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2011/2012, jumlah sekolah di Indonesia mencapai 70,9 ribu untuk sekolah TK, terdapat 146,8 ribu SD, Jumlah SMP sebesar 33,7 ribu dengan status negeri lebih besar jika dibandingkan dengan swasta yaitu 20,6 ribu (61,17 persen) dan 13,1 ribu (38,83 persen). Jumlah SMsebesar 21,9 ribu sekolah dan jumlah SMA lebih besar jika dibandingkan dengan SMK yaitu 11,7 ribu dan 10,2 ribu.
Angka-angka tersebut seakan menjelaskan masalah aksesbilitas masih menjadi kendala bagi proses pendidikan. Karna jika jumlah sekolah dasar lebih besar dari SMP dan SMA berarti adanya masalah karna anak putus sekolah disebabkan mahalnya pendidikan.  Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat (1), sudah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, termasuk pendidikan yang bermutu. Negara pun wajib membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut sebagaimana tertera dalam pasal 31 ayat (2). Soal alokasi anggaran sekurang-kurangnya 20 persen pun sudah mendapat jaminan dari konstitusi, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat (4) bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 34 ayat (2) pun secara tegas sudah dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar adalah program pendidikan bebas biaya untuk jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD dan SMP yang wajib dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Kita bisa melihat contoh perbedaan yang sangat mendasar antara Jakarta dengan daerah lain, misalnya daerah-daerah yang ada di Propinsi Jawa Tengah. Pendidikan di Jakarta sudah lebih baik daripada dikota lain karna sangat diperhatikan sarana dan prasarananya, seperti adanya Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk memberikan akses bagi warga DKI Jakarta dari kalangan masyarakat tidak mampu untuk mengenyam pendidikan minimal sampai dengan tamat SMA/SMK dengan dibiayai penuh dari dana APBD Provinsi DKI Jakarta. Tetapi pemberian Kartu Jakarta Pintar tidak serta merta diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah DKI Jakarta, tetapi dengan selektif dengan syarat seperti tidak merokok dan atau mengkonsumsi narkobaorang tua tidak memiliki penghasilan yang memadaimenggunakan angkutan umumdaya beli untuk sepatu dan pakaian seragam sekolah/pribadi rendahdan daya beli untuk buku, tas, dan alat tulis rendah
Seharusnya di daerah-daerah lain selain Jakarta bisa menerapkan apa yang sudah berjalan di Jakarta. Program yang sudah diterapkan dengan syarat-syarat yang tidak hanya bermanfaat bagi siswa. Seperti digratiskannya naik bus juga membuat para orangtua tidak perlu sibuk mengantar ke sekolah yang juga bisa meminimalisir jalanan macet setiap hari atau orang tua bisa menggunakan waktu untuk hal-hal yang lebih produktif.  Siswa juga tidak perlu lagi memaksakan mengendarai sepeda motor padahal belum memiliki SIM yang juga dapat membahayakan dirinya sendiri. 
Bukankah kemajuan negeri ini bisa diraih jika kita memiliki sumber daya manusia yang berkualitasyang sudah tertera dalam UUD “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pendidikan.  Dan komitmen pemerintah untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk memajukan pendidikan tidaklah sebatas pencitraan. Komitmen itu harus benar-benar terwujud nyata. Dengan demikian, mimpi masyarakat menikmati pendidikan gratis wajib belajar 9 tahun dan bermutu menjadi kenyataan.